“Ambu dan Uwa, sayang pada kau, Leh.” ucap Ambu memulai percakapan. Aku bergeming, mendengar penuh bakti dan merasakan begitu tulusnya mereka menyayangiku. Tak dapat dipungkiri, Uwa memang sangat perhatian padaku. Terlebih, sepeninggal Abah yang merantau ke kota beberapa tahun yang lalu.
Hari ini pesawat Garuda akan membawaku terbang menuju tempat dimana aku harus mengeksplorasikan mimpiku. Oh, aku sudah tidak sabar lagi; duduk di kursi empuk sambil memandangi daratan dan lautan di atas awan. Tapi rasanya, jika tanpa Ambu.. semua terasa kebas. Awak juga sayang pada Ambu dan Uwa.. batinku dalam hati.
Ambu menepuk bahuku pelan, menatapku hangat, kemudian menasihatiku untuk yang kesekian kalinya, “Saleh, kau adalah satu-satunya anak Ambu. Buatlah Ambu ini bahagia tanpa merasa kecewa. Teruslah arungi waktu, jelajahilah pijakan yang kau suka. Ambu akan merestui asal kau belajar dengan getol dan sungguh-sungguh.”
“Awak pasti akan berusaha membahagiakan Ambu..” jawabku lirih dengan mencium tangan Ambu lama.
Tiba-tiba, dari arah belakang, Uwa mengelukan namaku. “Saleh.. pesan Uwa, jangan berbuat macam-macam di negeri orang. Apalagi di Arab. Hukum Islam masih kental ditegakkan,”
Kudapati wajah yang teduh itu sedang tersenyum. Seulas senyum dari laki-laki paling bijak yang pernah kutemui. Sejenak, aku merasakan aliran semangat dari Uwa yang mendekapku bak sahabat karib. Setelah itu, Uwa melontarkan pertanyaan sebelum sempat aku merespon nasihatnya barusan.
“Sareng saha, Leh?”
“Sendirian, Wa.”
“Uwa doakan semoga mimpimu untuk jadi mubaligh muda terwujud.”
“Insya Allah, syukran, Wa. Jazakallah.” balasku dengan menggunakan kosa kata Bahasa Arab yang masih sedikit kuingat saat belajar di Pondok Pesantren. Uwa tergelak mendengar gelagatku yang sedikit berbeda ketika menuturkan kalimat tersebut.
Saat kulihat salah seorang pramugari hendak menginformasikan bahwa Pesawat akan segera take off, Ambu berkata padaku—lagi. “Jadi orang yang pinter. Kalau sudah pinter, balik lagi ke negerimu sendiri. Kau dengar kan, Leh? Jangan lupa, baca istighfar terus di pesawat. Jika ada apa-apa, jangan panik. Malaikat akan menjaga orang-orang yang pergi mencari ilmu.”
“Baik, Mbu, Saleh mengerti. Uwa..” aku menoleh menyejajari Uwa. Ia melihatku, lalu kubisikkan sesuatu di telinganya. “Tolong jaga Ambu. Saleh mohon.” pintaku memelas. Uwa mengerlingkan mata sambil memberikan isyarat bahwa semua akan baik-baik saja.
“Assalamualaikum!” ujarku mengakhiri percakapan di hari Jumat bersama orang-orang yang berarti dalam hidupku. Cepat-cepat kulangkahkan kakiku menuju anak tangga pesawat beriringan dengan lambaian tangan mereka yang kubalas dengan tulus.
Mereka masih tersenyum merelakan kepergianku. Walau kutahu, dadanya masih kembang kempis menahan sesak kekhawatiran.
“Are you okay? Make today is your, Sir.”
“Am okay. Thank you.”
“Well—enjoy with this flight.”
Seorang pramugari berjalan menjauhiku setelah bercakap singkat. Oh, apakah diriku terlihat begitu menyedihkan hari ini? Biar. Aku tak peduli. Aku memang seorang laki-laki yang hebat, tapi akan rapuh juga ketika Ambu meninggalkanku sendiri di tanah asing.
Ketika kudengar seorang pilot berkata, “Cabin crew, take off position,” hatiku berdebar. Mulutku berkomat-kamit membaca tasbih, tahmid, tahlil serta takbir. Berharap semoga pesawat yang aku tumpangi mengangkasa dengan sempurna.
Kutata lagi hatiku yang terus bergemuruh hebat. Kualihkan pandangan menuju jendela. Pesawat berhasil mengudara. Di luar, awan terlihat begitu putih memancarkan pesona. Ya, inilah kali pertama aku naik pesawat. Tanpa Ambu dan Uwa.
Aku mencoba melihat ke bawah. Oh, Tuhan. Maha besar sekali. Sejauh mata memandang, tak kutemukan manusia. Hanya bangunan pencakar langit yang terlihat menantang. Ternyata, seperti inilah terbang. Dibawa arus kehidupan yang selalu berputar.
Sejak dulu, aku selalu yakin bahwa orang-orang yang berjalan angkuh dengan membusungkan dada tanpa rasa rendah hati adalah manusia paling merugi. Karena sampai kapan pun, manusia akan mengalami sebuah revolusi. Dimana setiap individu akan mengalami bagaimana rasanya bahagia dan sedih. Tak penting karena apa, yang jelas takdir baik tak akan selamanya baik, begitu pula sebaliknya.
Sedetik setelah mataku berhasil terpejam, tiba-tiba kurasakan bumi bergetar. Memporak porandakan penumpang pesawat yang sedang terlelap tidur. Bergoyang kesana-kemari mengikuti guncangan alami dari dalam bumi. Mataku terpicing, melihat semua orang dengan wajah pucat pasi. Aya naon? tanyaku prihatin dalam hati.
Kulirik jendela —Awan mulai tampak tak bersahabat. Begitu pekat membuat para penumpang jejeritan histeris. Di awak kabin, beberapa pramugari mencoba untuk menenangkan para penumpang dengan kalimat-kalimat panjang yang sulit dimengerti.
Ketika semua orang kalang kabut sibuk mencari perlindungan, tiba-tiba, bau asap menguar di antara hidung kami. Menambah suasana dalam kabin bertambah gaduh. Situasi tak menentu seperti ini terjadi sekitar lima belas menit. Hatiku semakin tak karuan. Antara rasa takut, sedih, dan kecewa, bercampur menjadi satu.
Lama-lama, suara pramugari itu lebih terdengar seperti dengungan lebah. Tak jelas tertelan suara petir yang menyambar beriringan dengan kilatan halilintar. “Ambu!! Uwa!!” jeritku dalam tangisan yang sungguh tak dapat kubendung lagi. Tanganku gemetar. Tubuhku panas dingin. Ya Allah.. jika memang hidup adalah yang terbaik bagiku maka hidupkanlah aku, tapi jika mati adalah yang terbaik bagiku maka matikanlah aku. La ilaaha illallah..
Pesawat tiba-tiba landing. Kupikir Tuhan telah menjawab permohonan doaku. Tapi ternyata..
“Ditemukan tiga puluh dua orang terluka dan satu orang tewas di tempat. Kami masih menunggu hasil evakuasi dari polisi yang ikut memecahkan masalah ini. Tapi kami yakin, kejadian ini karena faktor alam, bukan mutlak kesalahan pilot dalam mengemudi.” terang Ir. Soraya, kepala dirut PT Garuda Indonesia.
Cerpen Karangan: Maladewi
Hari ini pesawat Garuda akan membawaku terbang menuju tempat dimana aku harus mengeksplorasikan mimpiku. Oh, aku sudah tidak sabar lagi; duduk di kursi empuk sambil memandangi daratan dan lautan di atas awan. Tapi rasanya, jika tanpa Ambu.. semua terasa kebas. Awak juga sayang pada Ambu dan Uwa.. batinku dalam hati.
Ambu menepuk bahuku pelan, menatapku hangat, kemudian menasihatiku untuk yang kesekian kalinya, “Saleh, kau adalah satu-satunya anak Ambu. Buatlah Ambu ini bahagia tanpa merasa kecewa. Teruslah arungi waktu, jelajahilah pijakan yang kau suka. Ambu akan merestui asal kau belajar dengan getol dan sungguh-sungguh.”
“Awak pasti akan berusaha membahagiakan Ambu..” jawabku lirih dengan mencium tangan Ambu lama.
Tiba-tiba, dari arah belakang, Uwa mengelukan namaku. “Saleh.. pesan Uwa, jangan berbuat macam-macam di negeri orang. Apalagi di Arab. Hukum Islam masih kental ditegakkan,”
Kudapati wajah yang teduh itu sedang tersenyum. Seulas senyum dari laki-laki paling bijak yang pernah kutemui. Sejenak, aku merasakan aliran semangat dari Uwa yang mendekapku bak sahabat karib. Setelah itu, Uwa melontarkan pertanyaan sebelum sempat aku merespon nasihatnya barusan.
“Sareng saha, Leh?”
“Sendirian, Wa.”
“Uwa doakan semoga mimpimu untuk jadi mubaligh muda terwujud.”
“Insya Allah, syukran, Wa. Jazakallah.” balasku dengan menggunakan kosa kata Bahasa Arab yang masih sedikit kuingat saat belajar di Pondok Pesantren. Uwa tergelak mendengar gelagatku yang sedikit berbeda ketika menuturkan kalimat tersebut.
Saat kulihat salah seorang pramugari hendak menginformasikan bahwa Pesawat akan segera take off, Ambu berkata padaku—lagi. “Jadi orang yang pinter. Kalau sudah pinter, balik lagi ke negerimu sendiri. Kau dengar kan, Leh? Jangan lupa, baca istighfar terus di pesawat. Jika ada apa-apa, jangan panik. Malaikat akan menjaga orang-orang yang pergi mencari ilmu.”
“Baik, Mbu, Saleh mengerti. Uwa..” aku menoleh menyejajari Uwa. Ia melihatku, lalu kubisikkan sesuatu di telinganya. “Tolong jaga Ambu. Saleh mohon.” pintaku memelas. Uwa mengerlingkan mata sambil memberikan isyarat bahwa semua akan baik-baik saja.
“Assalamualaikum!” ujarku mengakhiri percakapan di hari Jumat bersama orang-orang yang berarti dalam hidupku. Cepat-cepat kulangkahkan kakiku menuju anak tangga pesawat beriringan dengan lambaian tangan mereka yang kubalas dengan tulus.
Mereka masih tersenyum merelakan kepergianku. Walau kutahu, dadanya masih kembang kempis menahan sesak kekhawatiran.
“Are you okay? Make today is your, Sir.”
“Am okay. Thank you.”
“Well—enjoy with this flight.”
Seorang pramugari berjalan menjauhiku setelah bercakap singkat. Oh, apakah diriku terlihat begitu menyedihkan hari ini? Biar. Aku tak peduli. Aku memang seorang laki-laki yang hebat, tapi akan rapuh juga ketika Ambu meninggalkanku sendiri di tanah asing.
Ketika kudengar seorang pilot berkata, “Cabin crew, take off position,” hatiku berdebar. Mulutku berkomat-kamit membaca tasbih, tahmid, tahlil serta takbir. Berharap semoga pesawat yang aku tumpangi mengangkasa dengan sempurna.
Kutata lagi hatiku yang terus bergemuruh hebat. Kualihkan pandangan menuju jendela. Pesawat berhasil mengudara. Di luar, awan terlihat begitu putih memancarkan pesona. Ya, inilah kali pertama aku naik pesawat. Tanpa Ambu dan Uwa.
Aku mencoba melihat ke bawah. Oh, Tuhan. Maha besar sekali. Sejauh mata memandang, tak kutemukan manusia. Hanya bangunan pencakar langit yang terlihat menantang. Ternyata, seperti inilah terbang. Dibawa arus kehidupan yang selalu berputar.
Sejak dulu, aku selalu yakin bahwa orang-orang yang berjalan angkuh dengan membusungkan dada tanpa rasa rendah hati adalah manusia paling merugi. Karena sampai kapan pun, manusia akan mengalami sebuah revolusi. Dimana setiap individu akan mengalami bagaimana rasanya bahagia dan sedih. Tak penting karena apa, yang jelas takdir baik tak akan selamanya baik, begitu pula sebaliknya.
Sedetik setelah mataku berhasil terpejam, tiba-tiba kurasakan bumi bergetar. Memporak porandakan penumpang pesawat yang sedang terlelap tidur. Bergoyang kesana-kemari mengikuti guncangan alami dari dalam bumi. Mataku terpicing, melihat semua orang dengan wajah pucat pasi. Aya naon? tanyaku prihatin dalam hati.
Kulirik jendela —Awan mulai tampak tak bersahabat. Begitu pekat membuat para penumpang jejeritan histeris. Di awak kabin, beberapa pramugari mencoba untuk menenangkan para penumpang dengan kalimat-kalimat panjang yang sulit dimengerti.
Ketika semua orang kalang kabut sibuk mencari perlindungan, tiba-tiba, bau asap menguar di antara hidung kami. Menambah suasana dalam kabin bertambah gaduh. Situasi tak menentu seperti ini terjadi sekitar lima belas menit. Hatiku semakin tak karuan. Antara rasa takut, sedih, dan kecewa, bercampur menjadi satu.
Lama-lama, suara pramugari itu lebih terdengar seperti dengungan lebah. Tak jelas tertelan suara petir yang menyambar beriringan dengan kilatan halilintar. “Ambu!! Uwa!!” jeritku dalam tangisan yang sungguh tak dapat kubendung lagi. Tanganku gemetar. Tubuhku panas dingin. Ya Allah.. jika memang hidup adalah yang terbaik bagiku maka hidupkanlah aku, tapi jika mati adalah yang terbaik bagiku maka matikanlah aku. La ilaaha illallah..
Pesawat tiba-tiba landing. Kupikir Tuhan telah menjawab permohonan doaku. Tapi ternyata..
“Ditemukan tiga puluh dua orang terluka dan satu orang tewas di tempat. Kami masih menunggu hasil evakuasi dari polisi yang ikut memecahkan masalah ini. Tapi kami yakin, kejadian ini karena faktor alam, bukan mutlak kesalahan pilot dalam mengemudi.” terang Ir. Soraya, kepala dirut PT Garuda Indonesia.
Cerpen Karangan: Maladewi
Takdir yang Baik
4/
5
Oleh
Unknown