Angka Kematian dan Kebahagiaan

Baca Juga :
    Judul Cerpen Angka Kematian dan Kebahagiaan

    Aku Tasya Febrianti, seorang siswi SMA kelas 2 yang berkumis tipis, cukup tinggi dan berambut ikal sepinggang.
    Disebuah caffe, sore hari saat cuacanya sedang turun hujan. Saat itu aku pergi ke sana ingin memesan sesuatu yang bisa aku makan. Saat aku masuk dan membuka pintu cafe itu, nyaring terdengar suara bel. Lalu aku langsung duduk di meja bernomor 12. Tak lama setelah itu, pelayan muncul. “Selamat sore dan selamat datang di Donuts Dunkings, silahkan mau pesan apa?” katanya sambil memberikan buku daftar menu. Aku menerima dan membukanya, “Saya pesan Donat Forest Glam dan Ice Blend Coffee” jawabku. Dan pelayan itu pun mencatat pesananku dan berlalu meninggalkanku.

    Aku menunggu pesanan itu datang, sambil aku menatap luar dari balik layar kaca dan mataku tertuju ke arah pinggiran jalan yang ramai oleh pemuda-pemudi yang berlalu lalang nongkrong di sana. Namun suara lain mengejutkanku.
    “Hey” katanya. Aku langsung menengok ke arah sumber suara. Ternyata seorang pria sebaya denganku yang berjas hitam dengan pakaian rapi dengan style rambut menyamping dan putih tinggi.
    “Eh, yaa?” Jawabku.
    “Boleh saya duduk di sini?” Tanyanya.
    “Oh, silahkan” kataku dengan seulas senyum ramah. Saat dia mendengar ucapanku, dia langsung duduk di depanku. Aku hanya diam, sambil kuperhatikan wajahnya. Yaah, lumayan tampan.

    “Sedang menunggu siapa?” Tanyanya.
    “Gak nunggu siapa-siapa”
    “Oh, cuma pesan makan ya?”
    “Iya” tak lama dari itu, pelayan tadi datang kembali dengan membawa sajian sesuai pesananku. “Terimakasih” ucapku pada pelayan itu. Saat pelayan itu ingin pergi, namun dengan cepat pria itu berkata pada pelayan “Mbak, saya pesan minuman Hot Dark Chocolate” pelayan itu pun mencatat lalu pergi. Dan kembali lagi menyajikan yang dia pesan.

    “Kamu suka Donat Forest Glam?” Tanyanya.
    “Ya gak juga sih, semua donat saya suka. Tapi saya hanya menyukai satu minuman, yaitu Ice Blend” Ujarku.
    “Oh, kamu gak seneng minuman ini?” Tanyanya sambil menunjukan secangkir hot chocolatenya itu.
    Aku menggeleng, “tidak”
    “Mengapa?”
    “Terlalu manis” kataku sambil menyeruput ice blended
    “Benarkah?”
    “Yaa”
    “Oh ya, boleh kita berkenalan?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya.
    “Saya Tasya, kamu?” jawabku sambil menjabat tangannya.
    “Saya Ridho”
    “Apakah sebelumnya kita pernah bertemu?” tanyanya
    “Sepertinya tidak, baru hari ini bertemu”
    “Oh, mungkin saja ya? Oh iya, kamu sekolah mana?”
    “SMA N 8 Bandung”
    “Loh, kita 1 sekolah ya ternyata? Kelas berapa?”
    “Benarkah? Saya kelas 2 IPS I, kamu?”
    “Iyaa, saya kelas 3 IPA II”
    “Kakak kelas dong ya? Tapi saya baru melihatmu hari ini. Di sekolah saya tak pernah melihat kamu” Ujarku.
    “Saya memang pindahan, saya pindahan dari Jakarta. Baru juga 2 minggu di sini. Jadi wajar kamu tak kenal dengan saya”
    “Mm.. Begitu. Sudah banyak temankah kamu di sekolah baru ini?”
    “Yaa begitulah”
    “Merasa nyaman?”
    “Tentu” jawabnya. “Kalau boleh, kamu mau berteman denganku juga?” tawarnya.
    “Yaa, tentu saja”
    “Oh iya, hari mulai gelap. Kamu gak pulang? Ujannya juga udah reda nih. Atau mau pulang bareng saya aja biar aman?” ujarnya.
    “Mmm.. Boleh”

    Setelah aku menghabiskan donat dan minumanku, aku beranjak pergi menuju kasir. Saat aku ingin membayar, ia langsung mencegahku. “Sudah, biar saya saja yang bayar” aku heran, mengapa dia sebaik ini. Tapi aku merasa tidak enak, aku takut kalau aku dianggap wanita matrealistis olehnya. “Mm.. Gak usah, biar saya aja” jawabku menolak. “Udah, biar sekalian. Saya aja yang bayarin. Gak papa kan sekali-kali berbuat baik kepada orang?” aku pun tak protes lagi. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih padanya.

    Setelah itu kami ke luar dan pergi meninggalkan cafe. Aku menunjukan jalan menuju rumahku. Setelah sampai, aku mengucapkan terimakasih padanya. “Makasih yaa udah mau nganterin saya pulang sampe rumah. Makasih banyak, maaf ya kalo saya udah ngerepotin kamu. Jadi gak enak nih” kataku.
    “Iya gak papa kok, kan sebagai teman harus saling tolong menolong” Jawabnya sambil menyunggingkan senyum. Setelah itu, dia langsung tancap gas meninggalkan rumahku.

    Saat aku sudah berada dalam rumah, ibuku ternyata melihatnya tadi mengantarkan aku pulang.
    “Itu siapa Sya?”
    “Itu teman Tasya bu, Ridho”
    “Teman apa teman?” tanya ibuku sambil cengir kuda.
    “Teman bu, baru juga kenal”
    “Keliatannya dia baik ya Sya?”
    “Iya bu, sepertinya begitu. Baik, ramah juga orangnya”

    Hari terus berganti hari, aku semakin dekat dengannya. Aku menjadi teman akrabnya. Kami saling mengutarakan masalah, curhat dan kadang candaan pun bisa menjadi makanan kami sehari-hari. Rasanya senang sekali bisa berkomunikasi langsung dengannya daripada melalui sosial media. Sudah hampir 3 bulan kami saling mengenal. Tapi pertemanan ini aku khianati. Aku malah mencintainya tanpa kusadari. Aku menyayanginya tanpa sengaja. Aku mulai mengaguminya dalam diam. Salahkah aku telah berani mencintainya? Bahkan sampai aku seperti tak mau jauh darinya.

    Suatu hari, saat dalam kelas, aku tengah duduk di bangkuku. Tak lama, bel berbunyi tanda masuk. Setelah itu, kami berdoa dan mulai belajar. Saat sedang dalam keadaan belajar, tak sengaja aku melamun. Aku seperti memikirkan Ridho. Tak tau kenapa, senyuman dan keramahannya membuatku senang oleh sifatnya. Lamanya jam belajar usai hingga pulang, akhirnya bel berbunyi.

    Setelah semua keluar dari kelas ingin pulang, aku pergi ke toilet untuk buang air kecil karena sudah tak tahan. Tak disangka, aku menabrak Ridho.
    “Maaf Do gak sengaja” ucapku, tanpa jawabannya aku langsung berlari ke toilet wanita. Dia hanya tertawa kecil. Setelah keluar dari toilet, ternyata dia menunggu.
    “Nungguin siapa Do?”
    “Nungguin kamulah”
    “Oh ya?”
    “Iya, gak ada temen soalnya. Bareng saya ya?” jawabnya. Aku hanya mengangguk. Dan mengikutinya dari belakang.

    Ridho mengambil motornya di parkiran, setelah itu aku naik. Saat di perjalanan, dia menawarkanku untuk pergi ke cafe itu lagi. Aku pun mengiyakannya. Sesampainya di sana, suasana telah ramai. Namun masih terdapat beberapa meja kosong di sana, Ridho pun menunjuk ke arah meja bernomor 12 sama seperti awal kami bertemu. Yaa, di meja bernomor 12. Kami pun duduk, tak lama datang pelayan. “Selamat datang dan selamat siang di Donuts Dunkings, silahkan mau pesan apa?”
    Kali ini aku hanya ingin minum, dan Ridho pun sama.
    “2 cangkir Hot Dark Chocolate” kata Ridho menjawab dan pelayan itu langsung mencatat lalu pergi. Seketika itu aku langsung menengok ke arahnya. “Do, kamu tau kan aku gak suka minuman Hot Chocolate?”
    “Sesekali kamu harus mencobanya”
    “Do.. Kamu” kata-kataku terpotong olehnya.
    “Iyaa aku tau kamu gak suka, tapi gak ada salahnya kan kamu sekedar mencicipnya sedikit demi aku?” ujarnya. Aku hanya mengangguk pelan dan diam. Aku tak mau membuatnya marah, walaupun kutahu itu bukan kebiasaannya. Namun aku tak mau membuat wajah cerianya hilang kalau aku berkata tidak.

    Saat 2 cangkir berisi sama itu sedia didepan mata. Dia yang terlebih dahulu mengambil dan menikmati minumannya. Aku hanya terpaku pada gelas kecil yang indah berisi Hot Dark Chocolat itu. Lalu dia menyuruhku untuk mencicipinya.
    Aku pun menurut, kutegak minuman itu sampai ke dalam kerongkonganku sedikit demi sedikit.
    “Bagaimana?” tanyanya.
    “Enak” jawabku.
    “Apa yang kamu rasakan saat meminumnya?”
    “Yaa berbeda dari yang aku kira”
    “Sudah mulai merasa suka pada minuman itu?”
    “Ya, aku mulai sedikit menyukainya”
    “Kamu pasti akan lebih sangat menyukainya jika kamu sering meminumnya”
    Aku hanya mengangguk dan menikmati minuman itu lagi. Ternyata aku salah, minuman ini lebih enak dari Ice Blend kesukaanku. “Aku pun sangat menyukai minuman itu sama seperti perasaanku padamu” ujarnya yang sontak menbuatku kaget dan menghentikan minuman yang tengah menari dalam lidahku. Seketika aku menengok ke arahnya kemudian aku langsung menaruh minumanku di meja. Dia memandangku, dan menggenggam tanganku, kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang berisi kalung indah dari dalam saku celananya.

    “Sya, aku gak mau basa-basi lagi. Yang penting kamu harus tau, kalo aku ini mendam perasaan ke kamu selama 2 bulan. Aku sebenarnya telah lama ingin mengutarakannya padamu, tapi hatiku masih ragu. Aku takut kamu menolaknya. Dan sekarang, tepat pada tanggal 12 Desember, di Cafe ini, dan di sebuah meja yang bernomor 12 ini perkenalan kita yang sudah genap 3 bulan. Kamu mau kan Sya jadi pacar aku?” Ujarnya serius.
    “Do, perasaanku juga sama seperti kamu. Makasih ya Do, dalam waktu 3 bulan ini kamu mau jadi teman aku. Mau mendampingiku kemanapun, selalu ada untuk aku. Makasih banyak Do. Dan aku nerima kamu Do” Kataku menerimanya. Wajah Ridho yang tadinya terlihat tegang, sekarang menjadi amat bahagia. Kotak yang berisi kalung itu ia pakaikan ke leherku. Dan dia berkata “Nanti, kalo aku sudah lulus sekolah, lalu kuliah di Semarang dan telah sarjana, aku akan melamarmu. Aku akan menikahimu” ujarnya.
    “Benarkah itu Do? Kamu janji sama aku?” tanyaku.
    “Iya Sya, aku janji. Tapi aku mohon kamu bersabar. Sebentar lagi kan aku akan lulus, aku harus pergi ke Semarang untuk melanjutkan kuliahku. Aku harap kamu sabar Sya, aku harap kamu bisa menungguku” Aku yang mendengarnya terharu.
    “Iya Do, aku gak akan ngekhianatin cinta kamu. Aku akan tunggu kamu Do, asal kamu gak ngecewain aku. Aku percaya sama kamu” aku tak sengaja menitikan air mata. Namun dengan sigap Ridho mengusapnya dan memelukku.

    Sampai saat ini hubungan kami baik-baik saja. Ridho pun telah lulus dari SMA nya. Bahkan hingga aku pun ikut lulus menyusulnya. 4 tahun sudah kami LDR. Komunikasi kami pun tetap lancar. Yaa walaupun tak setiap jam ia membalas. Terkadang 1 hari ia tak memberiku kabar. Karena aku tau dan mengerti, ia tak akan main-main dalam kuliahnya. Aku pun percaya padanya. Lagipula, aku juga sudah bekerja. Tak harus aku memegang alat komunikasi setiap hari.

    Sampai pada suatu pagi, Ridho meneleponku. Ia berkata bahwa hari ini ia akan pulang. Ia akan menemuiku untuk melamarku. Aku senang sekali. Mungkin nanti malam ia akan sampai. Saat malam hari, aku mempersiapkan diri. Lalu aku menunggunya di rumah. Lama sekali Ridho tak juga datang. Telepon dariku pun tak juga diangkanya. Aku mulai khawatir. Batinku tidak enak, aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi aku tepis jauh-jauh pikiran itu. Aku tetap menunggu Ridho sampai akhirnya pun aku tertidur.

    Keesokan harinya, aku tersadar. Aku mengingat Ridho kembali. Aku mengambil hp dan ternyata tidak ada apapun. Tidak pesan, tidak ada panggilan keluar darinya. Hanya ada pesan melalui bbm. Aku berharap itu dari Ridho. Ternyata itu adalah kakak Ridho. Ia menyuruhku untuk secepatnya datang ke rumah bersama ibuku. Aku membereskan kamar, dan mengerjakan semua tugasku lalu aku mandi dan setelah semua selesai aku pergi ke rumah Ridho bersama ibu.

    Sesampainya di sana, aku heran mengapa bisa ada bendera kuning yang terikat di depan rumah Ridho. Namun setelah aku masuk, betapa kagetnya aku. Bagai disambar petir di siang bolong. Hatiku melemah saat itu, inginku menangis. Ingin aku bertetiak histeris. Kekasihku Ridho telah meninggalkan aku. Aku berusaha membangunkannya. Aku menangis, begitu banyak yang aku ucapkan padanya walaupun ia tak akan bisa mendengarnya. Aku berontak saat itu, namun ibu menenangkan aku. Aku menangis histeris, semua keluarganya pun seperti itu.

    Saat pemakaman, aku berusaha untuk tidak menangis. Ibu berusaha membuatku tenang dan selalu berada di sampingku. Aku memeluk ibu. Saat 1 papan lagi ingin menutupi wajahnya, rasanya aku tak kuat. Aku belum ikhlas, aku masih ingin melihat wajahnya lagi.

    Kakaknya Ridho berkata bahwa ia seperti ini karena musibah menimpanya kemarin sore, Bus Express yang ia naiki itu menabrak mobil Truck karena sopir mobil truck itu dalam keadaan mabuk. Aku syok, hampir aku jatuh pingsan. Ridho, orang yang amat aku cintai, yang menyayangiku dengan setulus hati telah pergi meninggalkan aku.

    Ridho, akankah kamu sengaja melupakan janjimu ingin melamarku? Ingin menjadikan aku sebagai calon istrimu Ridho? Apakah kamu lupa saat dimana kita sering bersama sewaktu kita duduk di bangku SMA? Apakah kamu tak ingat, pada angka 12 Do? Ingatkah kamu pada tempat dimana kita pertama kali kenal dan tempat kamu mengungkapkan isi hatimu padaku? Apakah kamu ingat semua itu Do? Dan sekarang kamu pun pergi meninggalkanku. Di angka yang sama, angka 12.

    Cerpen Karangan: Sandra Kirana
    Facebook: sandra kiiranna
    Foloww ig : Sandra_Kirana_28
    Id Line : Sandra_Kirana_28

    Artikel Terkait

    Angka Kematian dan Kebahagiaan
    4/ 5
    Oleh

    Berlangganan

    Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email